Hari
terus berjalan dan saat itulah ku sadari sesuatu. Aku berubah. Dan aku
membencinya. Perubahanku ini sama sekali tidak berubah ke arah yang lebih baik,
menurutku. Memang aku jadi lebih berani. Demo, kirai da.. Ima, watashi no jibun
ga kirai. Aku ingin kembali ke tempatku dulu. Dimana aku seharusnya berada. If I could turn back the time.
Kawatte yuku watashi ga hishirioika keteru
mono
Kinou o made to watashi wa
koitekebori no mama
Kawatte yuku watashi wa donna ni ii
kenai koto
Ashita kara no watashi wa o shiranai
dake..
Aku bahkan sudah tak tahu lagi apa
yang kulakukan. Segalanya berubah. Seperti yang penah aku katakan. Di kelasku
sekarang semuanya memang lebih baik. Segalanya kudapatkan. Pengalaman,
pertemanan yang ‘keras’ (It’s just like
they said), dari sinilah aku bisa belajar banyak dari mereka. Tapi dari
semua yang kudapatkan dari mereka, tetap saja ada hal yang kurang, yang hanya
ada di kelas sebelumnya.
Pertemanan yang sejati. Pertemanan yang menurutku mengandung
arti yang sebenarnya. Pertemanan yang tidak begitu mengenal perbedaan, walau
dari dasarnya dilihat dari manapun kami tetaplah berbeda. Tapi pertemanan kami
sama sekali tidak terbatasi oleh itu. Setidaknya mereka mau capek-capek
mengenalku. Setidaknya mereka mau capek-capek menerimaku. Dan karena itulah aku
sangat berterimakasih. I want to say
that. Thanks for friendship that you have offered me.
.
.
.
.
But
really, I’m very grateful to be one of them. Even it happened before.
Setidaknya aku berterimakasih dapat mengenal mereka semua. Juga mereka yang mau
menerima diriku. Seberapa jeleknya aku, seberapa anehnya aku, setidaknya mereka
mau mengajakku berbicara walaupun hanya sepatah kata. Kenangan ini akan terus
terpatri dalam hatiku. Zutto, zutto. Kono omoide, kawaranai mono, nakushitakunai.
Aku tidak akan melupakannya, aku tidak akan melepaskannya.
Sedangkan di kelas yang sekarang.
Seperti yang kukatakan tadi, semuanya lebih baik. Hampir segalanya kudapatkan
disini. Pengalaman yang menarik, serta teman-teman yang menarik. Kelas yang
menarik, walau semua anggotanya tidak ada yang normal. Tapi, mereka semua lucu.
Karakter mereka semua unik. Aku benar-benar bersyukur bisa masuk kelas ini.
Mereka semua membuka dunia yang baru bagiku.
Kau tahu, sejak masuk kelas ini aku
jadi sering bicara, terutama pada otokonoko. Apakah kau percaya jika dikelas
ini aku pernah duduk berdampingan dengan Kaoru-kun. It’s unbelievable isn’t it? Walau sepertinya duduk sama diapun
biasa saja sekarang. Bahkan waktu itu dia memanggil namaku. Wow, itu sedikit
membuatku terkejut. Dia tahu namaku. Wow.
Disini pula aku bertemu dengan
Aitsu-san, sang pemimpin perjalananku dalam satu bulan. Perasaanku padanya
sekarang sudah biasa saja. Ini benar-benar berakhir tanpa penyesalan. Justru
sekarang aku sedikit jengkel dengan sikapnya yang menyebalkan itu. Sikapnya itu
lho, yang seenaknya sendiri. Dikiranya gakkou adalah miliknya. Beberapa kali
sifat yang ditunjukannya seperti memberontak pada sensei-tachi. Entahlah, dasar
orang aneh..
Yosh, tinggal satu lagi yang harus
kuakhiri. Kaze-san, kapan aku bisa melupakannya. Sungguh, ia membuatku kesal
beberapa kali. Entah dengan duduk di kursiku, menendang-nendang bola ke
kursiku, apapun itu semua adalah kegiatan yang mengangguku. Bukannya aku mau
ge-er yaa, tapi sepertinya beberapa kali dia memang sengaja mengangguku. Dan
setiap kali dia menggangguku, itu hanya akan terus mengingatkanku. Kalau ingat
terus kapan lupanya!! Kaze-san hanya membuatku frustasi. Sikapnya yang
menyebalkan itu ditambah dengan kedekatannya dengan salah satu onnanoko di
kelasku benar-benar menggangguku. Kalau kau menyukainya, berhentilah
menggangguku, Kaze-san!! Hidoi na. Yamete kudasai, aku sudah capek dengan
masalahku sendiri, jangan tambahi dengan masalahku denganmu.
Dengan Kaze-san, ini mengingatkanku
dengan si Capung. Hahaha, dia adalah temanku onaji kurasu saat Shougakusei. Aku
menyukai saat aku berada di roku-nensei. Dia benar-benar menarik. Dia
satu-satunya otoko yang mau mengajakku gabung ke kelompoknya. Saat itu adalah
Nihon go no juugyou, kami ditugaskan untuk berkelompok. Saat aku dan sahabatku
kebingungan akan masuk kelompok mana, dia melambaikan tangannya dan mengajak
kita berdua untuk masuk ke kelompoknya. Aku benar-benar tersentuh dengan
sikapnya. Hahaha, benar-benar kodomo mitai.
Satu hal yang kutahu, perasaanku
pada Kaze-san berbeda dengan perasaanku pada Kaoru-kun, Zero-kun, dan yang
lainnya. Entah kenapa terasa berbeda. Jika aku boleh jujur, aku memilih untuk
menjaga perasaan ini daripada melepaskannya. Tapi Kaze-san menyukai salah satu
onnanoko dikelasku sepertinya. Mou ii, seharusnya aku memang tidak memulai ini
dari awal. Tapi tak bolehkah sekali saja aku berharap kali ini akan berakhir
seperti yang kuinginkan. Onegai.
Taiyou wa nobori shizumi kurikaeshi
Sora wa iro o kaete yuku kedo
.
.
.
Ninen da. Sudah dua tahun aku berada
disini. Di KIHS ini. Tak ada rasa bangga yang terpatri dalam diriku ini. KIHS adalah sekolah yang cukup berderajat
tinggi. Tak sembarang orang masuk kesana. Hanya para siswa yang sukses dalam
seleksi alam lah yang dinilai cukup pantas untuk masuk kesana. Selama kau
berada di sana, mayoritas penduduk Konoha pasti melihat kamu sebagai orang yang
berada di sisi yang berbeda. Rajin, pandai, dan disiplin. Dan aku yakin aku
sama sekali bukanlah seperti kriteria itu. Saat itulah aku sadar aku salah
masuk ke sebuah sekolah.
Apakah sesuatu ini dapat
dibanggakan? Bagi beberapa orang iya, tapi bagiku tidak. Tak ada bedanya jika
aku berada diantara mereka dengan predikat the
worst. It can’t be count. Aku bahkan tidak bisa masuk ke dunia anak-anak
pintar itu. Aku benar-benar merasa tak berguna.
Ninen da. Di saat semua orang memberikan apresiasinya
terhadap suatu hal, aku hanya bisa melihat dan memberi semangat dari belakang.
Di saat semua orang melakukan pekerjaannya dalam suatu event. Aku hanya bisa mendengar tentang progress mereka, datang ke event
mereka saja tidak bisa. Aku tidak pernah bisa menjadi salah satu dari mereka.
Satu-satunya hal yang bisa ku capai hanyalah di KIHS no Jiko Shokai, sebagai
anggota panitia. Hanya itu. Setelah itu, mereka sama sekali tidak memberikanku
kesempatan lagi.
Ninen da. Sudah dua tahun. Dua bulan lagi, sannen wa
hajimaru yo. Dan tak ada kenangan indah yang bisa aku buat sama sekali. Setelah
ini kehidupan hanya akan semakin suram. Karena itu, aku benci sekolah ini. KIHS
adalah tempat murid yang pandai, disiplin, dan rajin. Dan aku bukanlah
satu-satunya.
Mereka semua pintar. Tentu, jika tidak di bidang akademik,
pasti cakap dalam bidang non akademik. Mereka semua hebat. Aku sangat mengagumi
mereka. Aku hanya bisa melihat dan memuji akan kilauan sinar yang mereka
pancarkan. Dan aku sama sekali tidak bisa seperti mereka. Muri desu.
Ningen wa saikou desu. Mereka diciptakan dengan kelebihan
daripada makhluk lainnya. Watashi wa wakatta desu. Demo, apakah aku adalah yang
terburuk daripada manusia lainnya. Sampai sekarang aku sama sekali belum
mendapatkan apa tujuan hidupku dan apa yang akan kulakukan lagi. Rasanya aku
tak pernah mau memikirkannya.
Jika ditanya dulu, apa cita-citamu? Isha ni naru. Demo,
setelah dipikir lagi, aku sama seklai tidak bisa melakukan itu. Melihat orang
sakit, aku sama sekali tidak suka. Toh aku juga sama sekali tidak suka
pelajaran IPA. Jika boleh memilih, aku lebih memilih sastra. Bagiku ujian
tertulis sastra itu seperti bertaruh. Apakah kau memilih jawaban yang benar
ataupun salah, itu tergantung pada nasibmu. Karena kebenaran sastra tidak bisa
dibuktikan dengan angka, tidak akurat. Sastra hanya bisa dirasakan dengan hati.
Bukan dihitung, tapi dirasakan.
Sastra. Nihon go wa daisuki. Entahlah, setiap aku belajar
akan itu, aku tidak merasa aku harus, tetapi karena aku menyukainya. Karena
itulah aku belajar. Tidak disuruhpun aku tetap akan mempelajarinya. Maka dari
itu, saat ditanya kenapa nilai Nihon go-ku cukup baik, itu karena aku menyukainya.
Suki dayo. Hanya karena alasan sesimpel itulah. Tapi saat untuk berpikir saat
Daigaku nanti akan mengambil sastra, rasanya kok nggak pas. Anak KIHS hanya
bisa masuk sastra. Nihon go lagi.
Inilah juga yang membuatku tambah pusing. Akreditasi sekolah.
Menjaga nama baik sekolah. Saat kau berada di tempat yang lebih tinggi, semakin
berat pula beban yang kau tanggung. Tidak boleh goyah. Semua orang menginginkan
yang terbaik darimu, jadi kau sama sekali tak boleh kalah. Itulah yang selalu
kupikirkan. Kalau hanya karena diri sendiri, tak apa-apa. Tapi kalau membawa
nama sekolah, rasanya memalukan. Berjalan rasanya seperti didikte. Kau harus
seperti ini, kau harus seperti itu. Walau tak ada yang menyuruh, tapi kalian
semua mengharapkan yang seperti itu juga kan dariku. Yang terbaik, yah yang
terbaik.
Masa depan. Aku belum mau memikirkannya. Entah mau jadi apa
aku ini? Pemalu, seseorang yang hanya melihat kecilnya dunia dari jendela
kamarnya. Tak pernah mau keluar, lebih tepatnya tak pernah mau mencoba. Aku tak
pernah membiarkan diriku membuka. Toh membuka pada siapa, menurutku tak ada
yang dapat dipercayai didunia ini. Bekerja. Jadi apa? Aku sama sekali tak
mendapat pengalaman apapun. Berada di KIHS hanya membuatku semakin terkekang di
jeruji besi. Dan pernah aku berpikir tentang cinta. Apa yang akan didapat
olehku? Seseorang yang bahkan tak pernah jatuh cinta sekalipun. Semua
pengalaman yang kualami, aku tak pernah menyebutnya jatuh cinta, cuma sekadar
suka atau bahkan cuma kagum. Menikah? Entahlah, tak pernah berpikir kesitu.
Pacaran saja belum pernah.
Bagaimana kalau kita mengecilkan ke hubungan pertemanan?
Teman. Apakah selama ini aku punya teman? Tidak sepertinya, maksudku teman
dalam arti sebenarnya. Ichinen. Berada di kelas yang tidak begitu ramai dan kompak.
Namun disinilah aku merasa nyaman. Setidaknya disinilah aku merasa aku punya
teman. Aku benar-benar merasa diterima, walau hanya oleh beberapa orang saja,
tapi itu lebih dari cukup daripada tidak sama sekali.
Ninen. Kelas yang ramai, kompak, dan rada koplak. Aku
bersyukur berada dalam kelas ini. Mereka membuatku tertawa beberapa kali. Tidak
begitu ada geng geng-an (pengkotakan), setidaknya cukup merata. Tapi, ini
suasana kelas terburuk. Nyaman memang, tapi aku sendirian. Aku sama sekali
tidak punya teman. Mereka benar-benar tak mau mendengarkanku. Bahkan tak jarang
sikap mereka menunjukan ketidaksukaan padaku, jengkel padaku. Tak jarang pula,
aku dijadikan bahan lelucon dan ejekan, mereka tertawa. Aku hanya dapat
tersenyum diam. Berharap mereka akan menghentikan lelucon yang menyakitkan itu.
Mereka tak suka padaku. Kanjiru. Malah sepertinya mereka membenciku.
My ex-friends?
It’s more worse. Setelah kami
berpencar kelas, mereka semua terlihat berbeda. Kawatta na. Dulu mereka akan
mendengarkanku, kini mereka sedikit mengabaikanku. Bukan salah mereka. Setiap
orang pasti berubah seiring berjalannya waktu. Aku pun pasti berubah. Dan aku
benci itu. Aku ingin mereka kembali seperti dulu. Aku tahu aku egois. Tapi
kalau bukan mereka, siapa yang akan jadi temanku? Tak ada. Inai.
Semakin tinggi tempatmu mendaki, semakin banyak rintangan
yang akan kau hadapi. Dan inilah salah satunya. Terkadang aku ingin menangis.
Terkadang aku ingin marah. Terkadang aku ingin membuat mereka mengerti. Dame,
biarlah semuanya berjalan apa adanya. Seperti yang terjadi pada Aitsu-san,
Zero-kun, Kaoru-kun dan inilah tujuanku berikutnya Kaze-san. Aku sadar, dia
memang anak yang konyol. Suka mengganggu orang lain, suka menggoda orang lain.
Dan satu-satunya yang tidak jadi korbannya hanyalah dia. Yah, dia. Semakin
dipikir, semakin berat yaa.. Yosh, toh dua bulan lagi aku pisah kelas sama
Kaze-san. That’s healing time. Yosh,
ganbaru, Akira-chan..
.
.
.
Boku-tachi wa sannen da.. Senior. Kelas dua belas.
Sebenarnya aku sama sekali tidak mau berada di suasana kelas dua belas. Karena
kelas dua belas adalah tepat saat sebelum kau lulus. Akan ada banyak tesuto
bertebaran untuk kami. Benar-benar mendokusai. Para sensei pun pasti ingin kami
lulus dengan nilai yang terbaik. Aku juga ingin sih. Pokoknya dua semester ini
akan menjadi semester yang menyebalkan. Karena aku tidak terlalu suka saat
banyak orang mengharapku menjadi seperti yang mereka inginkan. Dan sekalinya
aku gagal, pasti bakal dimarahi habis-habisan. Konsekuensi masuk ke koukou yang
merupakan salah satu yang favorit di Konoha ini.
Pembagian kelas. Sebenarnya inilah yang paling aku tunggu
tepat saat hari pertama masuk. Apakah kami sekelas lagi atau terpencar lagi
atau justru kembali seperti saat masuk kelas satu. Tidak sekelas lagi dengan
mereka pun tak apa. Toh sepertinya itu lebih baik, sehingga mereka tidak
terganggu dengan keberadaanku, iyakan? Dan salah satu temanku pun tidak perlu
menahan emosinya lagi untuk memukulku. Kalau sekelas lagi ya, sudahlah terima
saja. Toh aku pun tidak membenci mereka. Atau justru mereka yang membenciku?
Wakaranai..
Dan ternyata memang kami tidak sekelas lagi. Senang? Tidak
juga. Sedih? Lebih tidak juga. Setidaknya aku lebih bersyukur bahwa banyak
teman sekelasku yang aku kenal, exclude otokonoko.
Tapi, terburuk dari yang terburuk, Kaze-san sekelas denganku lagi. Demi apapun,
dari semua orang kenapa harus dia? Aku lebih memilih sekelas dengan Kaoru-kun
dibanding dengan Kaze-san. Setidaknya Kaoru-kun tidak lebih annoying dari Kaze-san. Uhh..
Kaze-san. Sepertinya dia sedih tidak sekelas dengannya. Dia
jadi lebih diam dan aneh. Biasanya dia berangkat paling pagi daripada semua
otoko di kelas. Tapi kini dia sering berangkat siang dan jarang terlambat.
Kalaupun terlambat, dia pasti selalu datang tepat bel masuk berbunyi. Kok
kayaknya bosen sekolah, ya? Hmm, udah nggak sekelas sama dia lagi sih. Wakaru,
sabishii yo.
Kelasku saat ini, hmm, hmm. Bagaimana ya? Banyak teman
perempuan yang kukenal, enaknya itu. Tapi yang otoko, jarang yang kukenal. Dan
mereka incredibely annoying. Aku sama
sekali nggak bisa membaca jalan pikiran
mereka. Mereka nggak friendly.
Mungkin untuk otoko, aku lebih memilih yang kelas dua. Otoko kelasku yang
sekarang, nyebelin. Aku yakin mereka nggak begitu suka sama aku, tapi mereka
nggak pernah komentar. Tapi justru itulah yang kutakutkan. Dan mereka seenaknya
mengatai teman sekelasku yang sebenarnya salah satu senpaiku. They are really super duper annoying brat.
.
.
.
.
.
Kelas dua belas. Sebentar lagi luluskan? Habis itu kuliah
kan? Jurusan apa?
Sampai saat ini aku belum bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Termasuk apa yang akan kulakukan nantinya. Aku sama
sekali tak pernah berpikir ke sana. Karena yang kutahu dari dulu sampai
sekarang tugasku hanyalah belajar di sekolah. Masuk pagi, pulang sore. Itulah
keseharianku. Tak lebih.
Kuliah? Jurusan? Bukankah itu nanti akan berlanjut ke
pekerjaan. Dulu mimpiku adalah menjadi dokter. Bukankah hebat menjadi manusia
yang menolong sesama. Tapi aku berpikir, kalau itu adalah mimpi standar bagi
setiap anak yang tidak memiliki tujuan sepertiku, kecuali bagi mereka yang
sudah meneguhkan hati. Lalu tak lama kemudian, aku berpikir mau jadi apa kalau
aku jadi dokter, ngeliat orang sakit aja takut.
Pilihlah sesuai minatmu. Selalu itu saja yang mereka katakan.
Namun bukankah nantinya akan berpengaruh pada pekerjaan. Kini semua orang
berpikir bagaimana mencari uang yang banyak. Mengingat sekarang semuanya serba
mahal. Hh, mattaku.
.
.
.
.
Segalanya tak pernah berakhir baik bagiku. Apalagi dalam hal
ini. Aku selalu jatuh di tiap kalinya. Setiap berhasil merangkak, diri ini
kembali jatuh dan terlenakan olehnya. Kasusku kali ini bernama Kochataro
Kaze-san. Hai, dulu dia adalah teman satu kelas saat Ni-nen. Dan sekarang kami
sudah San-nen, kami kembali sekelas.
Terpikir dahulu, itu adalah kesempatan untukkun. Untuk lebih
mengenalnya. Setidaknya itulah yang kupikirkan pada awalnya. Dia orang yang
lucu dan cukup manis. Tapi mungkin saat dia bergurau, dia akan menjadi sangat
keterlaluan. Terkadang gurauannya justru menjadi sepercik api yang akan
menebarkan permusuhan baginya dan korbannya. Pernah ada kejadian saat Ni-nen.
Untung tidak sampai berkelahi.
Seperti yang kubilang tadi. Dia senang bergurau, tapi sering
keterlaluan. Mungkin dia tidak terlalu memikirkan akibat dari perkataannya dan
perlakuannya. Pernah dulu saat kami Ni-nen, dia mencoba menarik kursinya saat
aku mau duduk. Untungnya aku segera menyadari. Coba jika tidak, yabai desho.
Tapi aku yakin maksud Kaze-san hanya bergurau. But, actually that’s rough..
Di San-nen ini, ada satu kesalahan yang tak bisa kumaafkan
–belum bisa, darinya. Well, sebenarnya cuma simple
nih. Namanya juga koukousei, pasti ada yang namanya menjodoh-jodohkan
dengan seenaknya sendiri. Aku sudah terbiasa sejak Chuugaku. So, I can anticipated that. Kedo yo,
bagaimana rasanya jika yang melakukan itu adalah Kaze-san. A boy that you have a crush on. Pathetic da ne..
Terserah deh, mau dijodoh-jodohin sama siapa aja, toh belum
tentu itu beneran. Tapi kalau yang melakukan adalah Kaze-san sendiri. Dia yang
membuatku diejek begitu. Dia yang mengkoordinir biar semua nyorak-nyorakin. Kok
rasanya sakit, ya. I know, he doesn’t
know ‘bout my felling. But it still hurts. A lot. Kalaupun bener aku
nangis, aku bakal menangisi diriku sendiri mengingat betapa menyebalkannya kau,
Kaze-san.
=========================================================
Konnichiwa, minna. Another story? I have one. Actually a fanfict. But not finish yet. Selanjutnya dan selanjutnya cerita ini bakal terus berlanjut. Without end. So stay tuned. Especially you, Kaze-san. So you know about the pain that Akira must gone through..
Matta nee..
Ai Tanaka Uzumaki. ^^
0 komentar:
Posting Komentar