Aku sering bertemu dengannya.
Padahal kita tidak sekelas. Yap, tapi kami satu sekolahan tentu saja. Tapi
letak kelas kami sangat jauh. Kelasku berada di bawah sedangkan kelasnya berada
di atas. Tapi masih saja sering ketemu. Bukannya aku tidak ingin bertemu
dengannya. Tapi aku lebih berharap untuk tidak berpapasan di jalan. Huh,
menyebalkan..
“Hei, bukankah dia juga satu
sekolah dengan kita dulu?” tanya Kin padaku saat melihat dia melintas.
“Ha’i” jawabku singkat sambil
melihat ke arah lain.
Oke, bukannya aku sombong atau
apa, aku hanya ingin menghindarinya. Itu saja, aku ingin melupakan semuanya.
Oke, aku perkenalkan. Namanya Takishima Zero. Dulu saat aku masih chuugakusei,
dia satu sekolah denganku di Deimon
Middle School. Bahkan dua kali sekelas. Dan kini satu sekolahan lagi, tapi
beda kelas. Bagaimana ya menjelaskannya.. Aku mengaguminya mungkin. Jangan
salahkan aku kenapa. Aku mulai mengaguminya saat san-nensei. Mudah sekali
membedakan suara Zero-kun dari yang lainnya. Suaranya sedikit nyaring. Dan jika
tertawa, suaranya akan paling nyaring sendiri dan lucu. Kalau dia tersenyum,
manis sekali. Menurutku senyuman paling manis sedunia (Lebay mode : on). Senyumannya ini yang membuatku memperhatikannya
pertama kali.
Tapi aku tetaplah aku, yang
memang tidak pernah berbicara dengan yang namanya anak laki-laki. Dan seperti
biasanya aku hanya melihatnya dari jauh. Senyumannya, tertawanya. Lucu sekali.
Melihatnya saja sudah membuatku tersenyum sendiri. Dan aku selalu bertanya
apakah dia mengenalku. Oh, mungkin pernah, karena aku pernah berkirim mail dengannya, walau itupun hanya
sebatas untuk tugas sekolah. Tapi untuk me-mailnya
duluan itu membuat tubuhku panas dingin. Yah, walau Zero-kun tidak se-extraordinary Kaoru-kun, setidaknya dia
juga istimewa bagiku.
Dia lewat juga tanpa menoleh ke
arahku, miris, ya. Toh aku juga melakukan hal yang sama. Oh, ayolah bayangkan,
temanku di Deimon, Kusuriko Yuuhi. Dia pindahan dari Amegakure. Baru pindah
tapi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, dia sudah bisa mengenal Zero-kun
lebih dekat. Maksudku menjadi “teman yang sebenarnya”. Jujur aku juga ingin
seperti itu tapi. Uh, sudahlah..
Aku juga masih ingat saat masih
di Deimon, saat itu sehabis hujan. Anak-anak sekelasku bermain sepak bola di
bawah. Tapi aku dengan temanku, Mezumi-chan sedang ngobrol di atas sambil
melihat anak-anak main sepak bola. Mezumi-chan dan aku melihat ada anak yang
berlari dan terpeleset saat bermain bola itu, jadinya aku dan Mezumi-chan
tertawa. Dan saat itulah Zero-kun yang juga dibawah sedang berlari dan juga
tertawa melihat ke atas. Sesaat dia masih tertawa, tapi saat melihat ke atas
lagi, dia melihat ke arah kami dengan tatapan yang.. gimana, ya.. sedih, marah,
kecewa dan sedikit menakutkan. Entahlah aku tak tahu. Tapi yang aku rasa itu
tatapan yang berbeda dari biasanya. Kau tahulah maksudku (dan menurutku tatapan
itu seperti ditujukan padaku). Walau aku sempat berpikir kalau dia melihat ke
arah Mezumi-chan. Tapi aku tetap merasa aneh dengan tatapan itu. Jujur aku
merasa tidak enak.
“Hei, ayo ini sudah bel, ayo
masuk. Kog malah melamun..” ujar Kin padaku sambil beranjak dari tempatnya.
“Ah, Ha-Ha’i.. Chotto matte,
Kin..” kataku sambil mengikutinya dari belakang.
Seharusnya aku sudah
melupakannya. Saat itu aku hanya bisa melihat ke arah langit. Berharap bisa
langsung melupakannya.
“Oji-san, beli onigirinya 50 ryo,
ya empat..” ujar Kin pada oji-san, penjual onigiri.
Hari ini kami baru tidak ingin
makan di Kedai ramen. Yah, banyak mie itu tidak sehat. Jadilah kami di sini, di
depan kedai Onigiri yang tidak begitu ramai. Sebenarnya sih, pertamanya kami
ingin beli sushi tapi oji-san penjual Sushi kehabisan piring.
Saat kami menunggu pesanan kami,
tak jauh dari tempat kami berada ada kedai Nasi Kare. Aku suka Kare. Daisuki
dayo. Tapi aku belum pernah makan di sana. Di sana yang makan mayoritas anak
laki-laki sih. So, No-no. Tapi di
sana terlihat orang yang tidak mau aku temui untuk saat ini. Kaoru-kun. Untuk
apa kau di sana. Jelas sekali, terlihat dari tasnya dan postur tubuhnya. Uh..
“Uh, Mendokusei na..” gumamku
pelan sambil mencoba mengalihkan pandanganku darinya.
Minggu ini adalah waktu Chuukan
no Tesuto, dan biasanya aku akan jarang bertemu dengan Kaoru-kun toh walau
sekelas, ruang ujian kami berbeda. Berterimakasihlah untuk itu setidaknya aku
bisa tenang saat mengerjakan soal. Dan semoga dia juga. Walau begitu aku sering
mendengar suaranya samar-samar saat dia keluar ruangan, karena ruangnya
berjejer. Bahkan waktu aku ke Konoha no ginko untuk menemani Hinata membayar
uang sekolah, aku juga bertemu dengannya. Uh..
Hum, ngomong-ngomong soal Otoko,
aku jadi ingat saat aku masih menjadi Shougakusei di Seiyo Elementary School. Dia senpaiku. Saat itu aku go-nensei,
sedangkan dia roku-nensei. Aku mengenalnya mungkin karena menurutku dia
sepertiku. Sama-sama bertubuh kecil, mungkin. Yah, walau dia senpaiku, tapi
lama setelah itu aku baru tahu aku lebih tua satu hari darinya. Fufu..
Kebetulan yang aneh..
Yah, aku tetap aku, sama sekali
bukan orang yang berani berbicara. Tapi, kau tahulah, seperti apa Shougakusei
itu, masih penuh dengan kepolosan. Hum, kami sering main kejar-kejaran,
sepertinya.. Ah, aku lupa.. Itu sudah lama sekali. Hei, tapi setiap aku
mengingatnya, aku selalu tersenyum sendiri lho. Memang masa yang cukup indah
kog.. Yah, tapi itu berakhir saat dia lulus..
“..-dah belajar Keizaiku, boleh
lihat catatanmu?” ujarnya kepadaku pagi itu.
“Ha’i, douzo..” jawabku sambil
menyerahkan catatanku kepadanya.
Masih dalam Chuukan no Tesuto.
Hari terakhir memang, tapi tesuto tetaplah tesuto. Aku berangkat cukup pagi.
Aku pun belajar untuk tesuto pagi ini. Semuanya tenang dan damai, sampai, Kaien
Kirihito datang kepadaku untuk meminjam catatan. Well, aku tidak kesal, catatanku dipinjam. Toh, kukira dia
satu-satunya anak laki-laki di kelasku who
consider me as a friend. I said maybe.. Who knows.. Setidaknya dialah yang
sering mengajakku berbicara. Dan menurutku pun dia yang paling normal daripada
para otoko di kelas.
Aku bingung pada diriku sendiri,
kenapa aku bisa menyukai Kaoru-kun. Padahal kami sama sekali tidak pernah
bertegur sapa. Lucu, ya.. Dan ada yang lebih dekat, tapi aku lebih enak
mengatakannya teman sih.. Uh, aku bingung pada diriku sendiri.
“Uh, kok beda, ya?” gumamnya
pelan tapi aku masih bisa mendengar.
“Apanya yang beda?” ujarku sambil
melihat catatanku.
“Yah, aku hanya mencatat apa yang
dicatatkan, Megumi-sensei kok. Kamu mencatat tidak?” tanya ku balik padanya.
“Enggak. Ya udah, aku pinjam
catatanmu, aku catat dulu”
“Nee, douzo..” jawabku sambil
menggelengkan kepala mendengar kenyataan anak ini tidak mencatat. Padahalkan
itu penting. Setelah itu aku membaca catatanku di bukuku yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar